JUJUR,
SOPAN SANTUN DAN RASA MALU
PERTEMUAN
KE 1
(Materi
disampaikan di kelas 9 A-H SMP Al-Azhar 3 Bandarlampung pada hari senin hingga
jum'at tanggal 27-31 Januari 2020)
Bagaimana Seorang Muslim Menempatkan
Rasa Malu?
Rasa malu yang dalam bahasa Arabnya
adalah al-Haya’u merupakan salah satu sifat paling penting dalam diri manusia.
Sifat mulia ini banyak mempengaruhi pelbagai bidang kehidupan manusia, terutama
yang terkait masalah etika dan moral. Peran paling urgen dari rasa malu ini
kembali pada sistem pertahanan manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia,
lingkungan dan Tuhan. Satu bagian terpenting yang membentuk ketaqwaan manusia.
Dalam kehidupan sehari-harinya,
manusia menghadapi berbagai persoalan. Nah, di sinilah pentingnya membahas di
mana seseorang harus menunjukkan sifat rasa malu atau tidak. Pada intinya, rasa
malu bergantung pada tujuan akhlak manusia. Sifat rasa mulia harus dijaga agar
senantiasa terjadi keseimbangan padanya dan tidak terjatuh pada sikap esktrim.
Rasulullah SAW sangat memerhatikan
masalah ini dan bersabda, “Haya’un [rasa malu] ada dua macam; rasa malu yang
bersumber dari pemikiran rasional dan rasa malu yang muncul dari kebodohan
manusia. Rasa malu yang bersifat rasional pada dasarnya adalah ilmu. Sementara
rasa malu yang berasal dari kebodohan adalah jahl.” (Kafi, jilid 2, hal 106)
Ketika seorang merasa malu yang
sumbernya adalah rasio, maka itu sebuah kesempurnaan yang dituntut Islam. Hal
itu seperti seseorang yang malu untuk melakukan perbuatan dosa dan memiliki
rasa malu di hadapan orang yang dihormati. Sifat malu yang semacam ini
merupakan ilmu dan itu menunjukkan sikap yang bijak.
Sementara rasa malu yang bersumber
dari kebodohan seperti seseorang yang malu dan tidak mau bertanya terkait
hal-hal yang tidak diketahuinya. Seseorang malu untuk belajar dan beribadah.
Rasa malu ini jelas tidak memiliki argumentasi ilmu, tapi berlandaskan
kebodohan.
Sifat rasa malu yang bersumber dari
kebodohan memiliki esensi negatif dan menunjukkan kelemahan jiwa. Islam mencela
sifat yang seperti ini dan tidak mencantumkannya dalam keutamaan akhlak. Karena
sifat malu yang semacam ini justru mencegah kemajuan manusia dan penyebab
ketertinggalan manusia di pelbagai bidang kehidupan.
Lalu bagaimana seorang muslim
menempatkan rasa malunya?
Berikut ini penjelasan dari ayat dan
hadis tentang beberapa kondisi dimana seorang muslim harus mengedepankan rasa
malunya dan kondisi dimana rasa malu menjadi hal yang buruk.
Sifat malu yang tepat
1. Rasa malu kepada pada Allah dan
para malaikat
Agama Islam memerintahkan manusia
untuk senantiasa menjaga rasa malu kepada Allah, malaikat dan para wali-Nya.
Rasa malu dalam hal ini sebenarnya lebih luas dari hanya sekedar hubungan
biasa. Karena rasa malu dalam bentuk ini hanya bisa ditemukan dengan cara
menciptakan sistem nilai yang kuat, memmiliki tujuan yang tinggi dan bermakna
dalam kehidupan. Sekaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW bersabda, “Malulah
kepada Allah sebagaimana kamu merasa malu kepada tetanggamu yang baik. Karena
malu kepada Allah akan meningkatkan keyakinan.” (Bihar al-Anwar, jilid 75, hal
200)
2. Rasa malu kepada diri sendiri
Manusia membutuhkan kesendirian
untuk mencapai kesempurnaan. Oleh karenanya, Allah SWT memerintahkan shalat
malam agar manusia dapat memanfaatkan kesendiriaannya untuk bermunajat dan
menjalin hubungan lebih personal dengan Allah. Tapi yang lebih penting lagi,
agar kesendirian ini dapat dilalui dengan aman, maka manusia membutuhkan rasa
malu dalam dirinya terhadap dirinya sendiri. Atau dengan kata lain, rasa malu
akan menjadi pengawas bagi dirinya.
Bila kondisi ini tercipta pada
seseorang dan menganggap dirinya sebagai pengawas dirinya sendiri, maka ia akan
menjauhi banyak perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan. Bila seseorang
menghormati dirinya sendiri maka kondisinya di tempat sepi dan hanya ada
dirinya dengan kondisinya di tempat umum tidak akan ada bedanya. Artinya, rasa
malu akan menjadi penjaganya baik dalam kesendirian maupun bersama orang lain.
Dalam hal ini Imam Ali RA berkata:
“Rasa malu yang paling indah adalah
malu kepada diri sendiri.” (Laitsi Wasithi, Ali, ‘Uyun al-Hukm wa al-Mawaizh,
hal 121)
“Rasa malu kepada diri sendiri
merupakan hasil dari keimanan.” (Laitsi Wasithi, Ali, ‘Uyun al-Hukm wa
al-Mawaizh, hal 231)
3. Rasa malu untuk meminta bantuan
orang lain
Imam Shadiq RA berkata, “Meminta
bantuan kepada orang lain menyebabkan hilangnya kemuliaan dan rasa malu.”
(Thabarsi, Ali bin Hasan, Misykat al-Anwar Fi Ghurar al-Akhbar, hal 184)
4. Rasa malu melakukan keburukan
Imam Shadiq RA berkata, “Seseorang
yang tidak malu melakukan keburukan, tidak mau meninggal perbuatan buruk dan
tidak takut pada Allah saat dalam kesendirian, maka tidak ada kebaikan
padanya.” (Arbili, Ali bin Isa, Kasyful Ghummah Fi Ma’rifatil Aimmah, jilid 2,
hal 205)
5. Menjaga rasa malu dalam
berhubungan dengan bukan mahram
Dalam al-Quran disebutkan tentang
putri Nabi Syu’aib:
Kemudian datanglah kepada Musa salah
seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata:
"Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap
(kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi
bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya),
Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari
orang-orang yang zalim itu". (QS. Qishash: 25)
Di dalam ayat ini ada isyarat bahwa
wanita tidak dilarang untuk berkecimpung dalam kehidupan sosial dan
bertransaksi dengan orang lain. Namun syaratnya adalah aktivitas ini harus
disertai dengan tata krama dan rasa malu. Hal itu dilakukan oleh putri Nabi
Syua’aib yang diutus ayahnya untuk mengurusi pekerjaan penting dan sang putri
pun mengerjakan perintah ayahnya dengan tetap menjaga nilai-nilai rasa malu dan
kehormatan.
Sifat malu yang buruk
1. Malu melakukan pekerjaan baik
Rasulullah SAW bersabda, “Jangan
melakukan satu amalan pun karena riya dan untuk memamerkan diri, tapi jangan
ditinggalkan amalan itu karena malu.” (Ibnu Syu’bah Harrani, Hasan bin Ali,
Tuhafful ‘Uqul ‘An Ali ar-Rasul SAW, hal 58)
2. Malu belajar
Imam Ali RA berkata, “Jangan sampai
seseorang malu untuk mempelajari sesuatu yang tidak diketahuinya.” (Nahjul
Balaghah, Hikmah 82, hal 482)
3. Malu mengaku tidak tahu
Imam Ali RA berkata, “Seseorang
jangan malu untuk mengatakan ‘saya tidak tahu’ ketika ditanya tentang sesuatu
yang tidak diketahuinya.” (Nahjul Balaghah, Hikmah 82, hal 482)
4. Malu melayani tamu
Imam Ali RA berkata, “Tiga perkara
yang tidak boleh malu mengerjakannya; melayani tamu, bangkit dari tempat duduk
untuk menghormati ayah dan guru, menuntut hak diri sendiri meskipun itu kecil.”
(‘Uyun al-Hukm wa al-Mawaizh, hal 212)
5. Malu mengatakan kebenaran
Imam Ali RA berkata, “Orang yang
malu mengatakan yang benar adalah tolol.” (Tamimi Amadi, Abdul Wahid bin
Mohammad, Ghurarul Hikam wa Durarul Kalam, hal 628)
6. Malu memberi sedikit
Imam Ali RA berkata, “Jangan malu
memberi sesuatu [harta] yang sedikit karena mengecewakan itu lebih sedikit lagi
darinya.” (Nahjul Balaghah, Hikmah 67, hal 479)
7. Malu menagih harta yang halal
Imam Shadiq RA berkata, “Orang yang
tidak malu menagih harta miliknya yang halal, maka biaya hidupnya akan menjadi
ringan dan Allah Swt akan memberikan nikmat-Nya kepada keluarganya.” (Shaduq,
Mohammad bin Ali, Man La Yahdhurul Fakih, jilid 4, hal 410)
8. Malu meminta kepada Allah
Imam Shadiq RA berkata, “Tidak ada
sesuatu yang lebih dicintai Allah selain meminta sesuatu kepada-Nya. Untuk itu
jangan sampai kalian malu meminta rahmat Allah, meskipun permintaan itu hanya
sekedar meminta tali sepatu.” (Kafi, jilid 4, hal 20)
Kesimpulan
Rasa malu yang dikategorikan sistem
nilai Islam bila berasal dari ilmu. Bila setiap orang memiliki rasa malu yang
rasional, maka kehidupan individu dan sosial manusia akan lebih baik dari yang
ada. Sebaliknya, bila batas-batas rasa malu telah diabaikan, maka akan
memunculkan pelbagai masalah pribadi dan sosial dalam kehidupan manusia