JUJUR, SOPAN SANTUN DAN RASA MALU

PERTEMUAN KE 1





(Materi disampaikan di kelas 9 A-H SMP Al-Azhar 3 Bandarlampung pada hari senin hingga jum'at tanggal 27-31 Januari 2020)



Bagaimana Seorang Muslim Menempatkan Rasa Malu?

Rasa malu yang dalam bahasa Arabnya adalah al-Haya’u merupakan salah satu sifat paling penting dalam diri manusia. Sifat mulia ini banyak mempengaruhi pelbagai bidang kehidupan manusia, terutama yang terkait masalah etika dan moral. Peran paling urgen dari rasa malu ini kembali pada sistem pertahanan manusia dalam hubungannya dengan sesama manusia, lingkungan dan Tuhan. Satu bagian terpenting yang membentuk ketaqwaan manusia.

Dalam kehidupan sehari-harinya, manusia menghadapi berbagai persoalan. Nah, di sinilah pentingnya membahas di mana seseorang harus menunjukkan sifat rasa malu atau tidak. Pada intinya, rasa malu bergantung pada tujuan akhlak manusia. Sifat rasa mulia harus dijaga agar senantiasa terjadi keseimbangan padanya dan tidak terjatuh pada sikap esktrim.

Rasulullah SAW sangat memerhatikan masalah ini dan bersabda, “Haya’un [rasa malu] ada dua macam; rasa malu yang bersumber dari pemikiran rasional dan rasa malu yang muncul dari kebodohan manusia. Rasa malu yang bersifat rasional pada dasarnya adalah ilmu. Sementara rasa malu yang berasal dari kebodohan adalah jahl.” (Kafi, jilid 2, hal 106)

Ketika seorang merasa malu yang sumbernya adalah rasio, maka itu sebuah kesempurnaan yang dituntut Islam. Hal itu seperti seseorang yang malu untuk melakukan perbuatan dosa dan memiliki rasa malu di hadapan orang yang dihormati. Sifat malu yang semacam ini merupakan ilmu dan itu menunjukkan sikap yang bijak.

Sementara rasa malu yang bersumber dari kebodohan seperti seseorang yang malu dan tidak mau bertanya terkait hal-hal yang tidak diketahuinya. Seseorang malu untuk belajar dan beribadah. Rasa malu ini jelas tidak memiliki argumentasi ilmu, tapi berlandaskan kebodohan.

Sifat rasa malu yang bersumber dari kebodohan memiliki esensi negatif dan menunjukkan kelemahan jiwa. Islam mencela sifat yang seperti ini dan tidak mencantumkannya dalam keutamaan akhlak. Karena sifat malu yang semacam ini justru mencegah kemajuan manusia dan penyebab ketertinggalan manusia di pelbagai bidang kehidupan.

Lalu bagaimana seorang muslim menempatkan rasa malunya?

Berikut ini penjelasan dari ayat dan hadis tentang beberapa kondisi dimana seorang muslim harus mengedepankan rasa malunya dan kondisi dimana rasa malu menjadi hal yang buruk.

Sifat malu yang tepat

1. Rasa malu kepada pada Allah dan para malaikat

Agama Islam memerintahkan manusia untuk senantiasa menjaga rasa malu kepada Allah, malaikat dan para wali-Nya. Rasa malu dalam hal ini sebenarnya lebih luas dari hanya sekedar hubungan biasa. Karena rasa malu dalam bentuk ini hanya bisa ditemukan dengan cara menciptakan sistem nilai yang kuat, memmiliki tujuan yang tinggi dan bermakna dalam kehidupan. Sekaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW bersabda, “Malulah kepada Allah sebagaimana kamu merasa malu kepada tetanggamu yang baik. Karena malu kepada Allah akan meningkatkan keyakinan.” (Bihar al-Anwar, jilid 75, hal 200)

2. Rasa malu kepada diri sendiri

Manusia membutuhkan kesendirian untuk mencapai kesempurnaan. Oleh karenanya, Allah SWT memerintahkan shalat malam agar manusia dapat memanfaatkan kesendiriaannya untuk bermunajat dan menjalin hubungan lebih personal dengan Allah. Tapi yang lebih penting lagi, agar kesendirian ini dapat dilalui dengan aman, maka manusia membutuhkan rasa malu dalam dirinya terhadap dirinya sendiri. Atau dengan kata lain, rasa malu akan menjadi pengawas bagi dirinya.

Bila kondisi ini tercipta pada seseorang dan menganggap dirinya sebagai pengawas dirinya sendiri, maka ia akan menjauhi banyak perbuatan yang tidak seharusnya dilakukan. Bila seseorang menghormati dirinya sendiri maka kondisinya di tempat sepi dan hanya ada dirinya dengan kondisinya di tempat umum tidak akan ada bedanya. Artinya, rasa malu akan menjadi penjaganya baik dalam kesendirian maupun bersama orang lain.

Dalam hal ini Imam Ali RA berkata:

“Rasa malu yang paling indah adalah malu kepada diri sendiri.” (Laitsi Wasithi, Ali, ‘Uyun al-Hukm wa al-Mawaizh, hal 121)

“Rasa malu kepada diri sendiri merupakan hasil dari keimanan.” (Laitsi Wasithi, Ali, ‘Uyun al-Hukm wa al-Mawaizh, hal 231)

3. Rasa malu untuk meminta bantuan orang lain

Imam Shadiq RA berkata, “Meminta bantuan kepada orang lain menyebabkan hilangnya kemuliaan dan rasa malu.” (Thabarsi, Ali bin Hasan, Misykat al-Anwar Fi Ghurar al-Akhbar, hal 184)


4. Rasa malu melakukan keburukan

Imam Shadiq RA berkata, “Seseorang yang tidak malu melakukan keburukan, tidak mau meninggal perbuatan buruk dan tidak takut pada Allah saat dalam kesendirian, maka tidak ada kebaikan padanya.” (Arbili, Ali bin Isa, Kasyful Ghummah Fi Ma’rifatil Aimmah, jilid 2, hal 205)

5. Menjaga rasa malu dalam berhubungan dengan bukan mahram

Dalam al-Quran disebutkan tentang putri Nabi Syu’aib:

Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan kemalu-maluan, ia berkata: "Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberikan balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami". Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya (Syu'aib) dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya), Syu'aib berkata: "Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu". (QS. Qishash: 25)

Di dalam ayat ini ada isyarat bahwa wanita tidak dilarang untuk berkecimpung dalam kehidupan sosial dan bertransaksi dengan orang lain. Namun syaratnya adalah aktivitas ini harus disertai dengan tata krama dan rasa malu. Hal itu dilakukan oleh putri Nabi Syua’aib yang diutus ayahnya untuk mengurusi pekerjaan penting dan sang putri pun mengerjakan perintah ayahnya dengan tetap menjaga nilai-nilai rasa malu dan kehormatan.

Sifat malu yang buruk

1. Malu melakukan pekerjaan baik

Rasulullah SAW bersabda, “Jangan melakukan satu amalan pun karena riya dan untuk memamerkan diri, tapi jangan ditinggalkan amalan itu karena malu.” (Ibnu Syu’bah Harrani, Hasan bin Ali, Tuhafful ‘Uqul ‘An Ali ar-Rasul SAW, hal 58)

2. Malu belajar

Imam Ali RA berkata, “Jangan sampai seseorang malu untuk mempelajari sesuatu yang tidak diketahuinya.” (Nahjul Balaghah, Hikmah 82, hal 482)

3. Malu mengaku tidak tahu

Imam Ali RA berkata, “Seseorang jangan malu untuk mengatakan ‘saya tidak tahu’ ketika ditanya tentang sesuatu yang tidak diketahuinya.” (Nahjul Balaghah, Hikmah 82, hal 482)

4. Malu melayani tamu

Imam Ali RA berkata, “Tiga perkara yang tidak boleh malu mengerjakannya; melayani tamu, bangkit dari tempat duduk untuk menghormati ayah dan guru, menuntut hak diri sendiri meskipun itu kecil.” (‘Uyun al-Hukm wa al-Mawaizh, hal 212)

5. Malu mengatakan kebenaran

Imam Ali RA berkata, “Orang yang malu mengatakan yang benar adalah tolol.” (Tamimi Amadi, Abdul Wahid bin Mohammad, Ghurarul Hikam wa Durarul Kalam, hal 628)

6. Malu memberi sedikit

Imam Ali RA berkata, “Jangan malu memberi sesuatu [harta] yang sedikit karena mengecewakan itu lebih sedikit lagi darinya.” (Nahjul Balaghah, Hikmah 67, hal 479)

7. Malu menagih harta yang halal

Imam Shadiq RA berkata, “Orang yang tidak malu menagih harta miliknya yang halal, maka biaya hidupnya akan menjadi ringan dan Allah Swt akan memberikan nikmat-Nya kepada keluarganya.” (Shaduq, Mohammad bin Ali, Man La Yahdhurul Fakih, jilid 4, hal 410)

8. Malu meminta kepada Allah

Imam Shadiq RA berkata, “Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai Allah selain meminta sesuatu kepada-Nya. Untuk itu jangan sampai kalian malu meminta rahmat Allah, meskipun permintaan itu hanya sekedar meminta tali sepatu.” (Kafi, jilid 4, hal 20)

Kesimpulan

Rasa malu yang dikategorikan sistem nilai Islam bila berasal dari ilmu. Bila setiap orang memiliki rasa malu yang rasional, maka kehidupan individu dan sosial manusia akan lebih baik dari yang ada. Sebaliknya, bila batas-batas rasa malu telah diabaikan, maka akan memunculkan pelbagai masalah pribadi dan sosial dalam kehidupan manusia

Beriman kepada Qadha’ dan Qadha’ Berbuah Ketenangan Hati

PERTEMUAN KE 3




(Materi disampaikan di kelas 9 A-H SMP Al-Azhar 3 Bandarlampung pada hari senin hingga jum'at tanggal 20-24 Januari 2020)


DALIL-DALIL IMAN KEPADA QADHA’ DAN QADHAR

Dalil yang menunjukkan rukun yang agung dari rukun-rukun iman ini ialah al-Qur-an, as-Sunnah, ijma’, fitrah, akal, dan panca indera.

Dalil-Dalil Dari Al-Qur-an
Dalil-dalil dari al-Qur-an sangat banyak, di antaranya firman Allah Azza wa Jalla

وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا

“…Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” [Al-Ahzab/33 :38]

Juga firman-Nya:

إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” [Al-Qamar/54 : 49]

Dan juga firman-Nya yang lain:

وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا عِنْدَنَا خَزَائِنُهُ وَمَا نُنَزِّلُهُ إِلَّا بِقَدَرٍ مَعْلُومٍ

“Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kami-lah kha-zanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” [Al-Hijr/15 : 21]

Juga firman-Nya:

إِلَىٰ قَدَرٍ مَعْلُومٍ فَقَدَرْنَا فَنِعْمَ الْقَادِرُونَ

“Sampai waktu yang ditentukan, lalu Kami tentukan (bentuknya), maka Kami-lah sebaik-baik yang menentukan.” [Al-Mursalaat/77 : 22-23]

Juga firman-Nya yang lain:

ثُمَّ جِئْتَ عَلَىٰ قَدَرٍ يَا مُوسَىٰ

“…Kemudian engkau datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa.” [Thaahaa/20 : 40]

Dan juga firman-Nya:

وَخَلَقَ كُلَّ شَيْءٍ فَقَدَّرَهُ تَقْدِيرًا

“…Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” [Al-Furqaan/25 : 2]

Dan firman-Nya yang lain:

وَالَّذِي قَدَّرَ فَهَدَىٰ

“Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk.” [Al-A’laa/87 : 3]

Firman-Nya yang lain:

لِيَقْضِيَ اللَّهُ أَمْرًا كَانَ مَفْعُولًا

“… (Allah mempertemukan kedua pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan…” [Al-Anfaal/8: 42]

Serta firman-Nya yang lain :

وَقَضَيْنَا إِلَىٰ بَنِي إِسْرَائِيلَ فِي الْكِتَابِ لَتُفْسِدُنَّ فِي الْأَرْضِ مَرَّتَيْنِ

“Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam Kitab itu, ‘Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali…” [Al-Israa’/17 : 4]

Dalil-Dalil Dari As-Sunnah

Sementara dari sunnah ialah seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang terdapat dalam hadits Jibril Alaihissalam

وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ

“…Dan engkau beriman kepada qadar, yang baik maupun yang buruk… .” [1]

Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahiih dari Thawus, dia mengatakan, “Saya mengetahui sejumlah orang dari para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Segala sesuatu dengan ketentuan takdir.’ Ia melanjutkan, “Dan aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar mengatakan, ‘Segala sesuatu itu dengan ketentuan takdir hingga kelemahan dan kecerdasan, atau kecerdasan dan kelemahan.’”[2]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْئٌ فَلاَ تَقُل:ْ لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ، كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَرُ اللهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ

“…Jika sesuatu menimpamu, maka janganlah mengatakan, ‘Se-andainya aku melakukannya, niscaya akan demikian dan demikian.’ Tetapi ucapkanlah, ‘Sudah menjadi ketentuan Allah, dan apa yang dikehendakinya pasti terjadi… .’” [3]

Demikianlah (dalil-dalil tersebut), dan akan kita temukan dalam kitab ini dalil-dalil yang banyak dari al-Qur-an dan as-Sunnah, sebagai tambahan atas apa yang telah disebutkan.

Dalil-Dalil Dari Ijma’

Sedangkan menurut Ijma’, maka kaum muslimin telah bersepakat tentang kewajiban beriman kepada qadar, yang baik dan yang buruk, yang berasal dari Allah. An-Nawawi Rahimahullah berkata, “Sudah jelas dalil-dalil yang qath’i dari al-Qur-an, as-Sunnah, ijma’ Sahabat, dan Ahlul Hil wal ‘Aqd dari kalangan salaf dan khalaf tentang ketetapan qadar Allah Azza wa Jalla.” [4]

Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, “Sudah menjadi pendapat salaf seluruhnya bahwa seluruh perkara semuanya dengan takdir Allah Ta’ala.” [5]

Dalil-Dalil Dari Fitrah

Adapun berdasarkan fitrah, bahwa iman kepada qadar adalah sesuatu yang telah dimaklumi secara fitrah, baik dahulu maupun sekarang, dan tidak ada yang mengingkarinya kecuali sejumlah kaum musyrikin. Kesalahannya tidak terletak dalam menafikan dan mengingkari qadar, tetapi terletak dalam memahaminya menurut cara yang benar. Karena itu, Allah Azza wa Jalla berfirman tentang kaum musyrikin:

سَيَقُولُ الَّذِينَ أَشْرَكُوا لَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا أَشْرَكْنَا وَلَا آبَاؤُنَا

“Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya… .’” [Al-An’aam/6 : 148]

Mereka menetapkan kehendak (masyii-ah) bagi Allah, tetapi mereka berargumen dengannya atas perbuatan syirik. Kemudian Dia menjelaskan bahwa ini merupakan keadaan umat sebelum mereka, dengan firman-Nya:

كَذَٰلِكَ كَذَّبَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ

“… Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul)… .” [Al-An’aam/6 : 148]

Bangsa ‘Arab di masa Jahiliyyah mengenal takdir dan tidak mengingkarinya, serta di sana tidak ada orang yang berpendapat bahwa suatu perkara itu memang telah ada sebelumnya (terjadi dengan sendirinya, tanpa ada Yang menghendakinya).

Hal ini kita jumpai secara nyata dalam sya’ir-sya’ir mereka, sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, dan sebagaimana dalam ucapan ‘Antarah:
Wahai tetumbuhan, ke mana aku akan lari dari kematian
jika Rabb-ku di langit telah menentukannya [6]

Sebagaimana juga ucapan Tharfah bin al-‘Abd:
Seandainya Rabb-ku menghendaki, niscaya aku menjadi Qais bin Khalid
dan sekiranya Rabb-ku menghendaki, niscaya aku menjadi ‘Amr bin Martsad [7]

Suwaid bin Abu Kahil berkata:
Yang Maha Pemurah, dan segala puji untuk-Nya, telah menuliskan
keluasan akhlak pada kami begitu juga kebengkokannya [8]

Al-Mutsaqqib al-‘Abdi berkata:
Aku yakin, jika Rabb menghendaki,
bahwasanya kekuatan dan tujuan-Nya akan sampai kepadaku [9]

Zuhair berkata:
Jangan menyembunyikan kepada Allah apa yang ada dalam jiwa kalian
agar tersembunyi, dan meskipun disembunyikan Allah tetap mengetahuinya
Dia menunda lalu diletakkan dalam kitab untuk disimpan
bagi hari Penghisaban, atau disegerakan untuk diberi balasan [10]

Sebagaimana kita dapati juga dalam khutbah-khutbah mereka, seperti dalam pernyataan Hani’ bin Mas’ud asy-Syaibani dalam khutbahnya yang masyhur pada hari Dzi Qar, “Sesungguhnya sikap waspada (hati-hati) tidak dapat menyelamatkan dari takdir.” [11]

Tidak seorang pun dari mereka yang menafikan qadar secara mutlak, sebagaimana yang ditegaskan oleh salah seorang pakar bahasa ‘Arab, Abul ‘Abbas Ahmad bin Yahya Tsa’lab Rahimahullah, dengan ucapannya, “Saya tidak mengetahui ada orang ‘Arab yang mengingkari takdir.” Ditanyakan kepadanya, “Apakah di hati orang-orang ‘Arab terlintas pernyataan menafikan takdir?” Ia menjawab, “Berlindunglah kepada Allah, tidak ada pada bangsa ‘Arab kecuali menetapkan takdir, yang baik maupun yang buruk, baik semasa Jahiliyyah maupun semasa Islam. Pernyataan mereka sangat banyak dan jelas.” Kemudian dia mengucapkan sya’ir:

Takdir-takdir berlaku atas jarum yang menancap
dan tidaklah jarum berjalan melainkan dengan takdir
Lalu dia mengucapkan sya’ir milik Umru-ul Qais:
Kesengsaraan pada dua kesengsaraan telah tertuliskan [12]

Labid berkata:
Bertakwa kepada Rabb kami adalah sebaik-baik kewajiban
dan dengan seizin Allah hidup dan ajalku
Aku memuji Allah dan tidak ada sekutu bagi-Nya
di kedua tangan-Nya tergenggam kebajikan, apa yang dikehendaki-Nya pasti terjadi
Siapa yang diberi petunjuk kepada jalan kebajikan, maka dia telah mendapat petunjuk dan hidupnya menyenangkan
dan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk disesatkan), maka Dia menyesatkannya [13]

Ka’b bin Sa’ad al-Ghanawi berkata:
Tidakkah engkau mengetahui bahwa dudukku tidak menjauhkan kematianku dariku
dan tidak pula kepergianku mendekatkanku kepada kematian
Bersama takdir yang pasti, hingga kematianku menimpaku
seandainya jiwa tidak terburu-buru [14]

Dalil-Dalil Dari Akal
Sedangkan dalil akal, maka akal yang sehat memastikan bahwa Allah-lah Pencipta alam semesta ini, Yang Mengaturnya dan Yang Menguasainya. Tidak mungkin alam ini diadakan dengan sistim yang menakjubkan, saling menjalin, dan berkaitan erat antara sebab dan akibat sedemikian rupa ini adalah secara kebetulan. Sebab, wujud itu sebenarnya tidak memiliki sistem pada asal wujud-nya, lalu bagaimana menjadi tersistem pada saat adanya dan perkembangannya?

Jika ini terbukti secara akal bahwa Allah adalah Pencipta, maka sudah pasti sesuatu tidak terjadi dalam kekuasaan-Nya melainkan apa yang dikehendaki dan ditakdirkan-Nya.

Di antara yang menunjukkan pernyataan ini ialah firman Allah Azza wa Jalla:

اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” [Ath-Thalaaq/65 : 12]

Kemudian perincian tentang qadar tidak diingkari akal, tetapi merupakan hal yang benar-benar disepakati, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.

Dalil-Dalil Dari Panca Indera

Adapun bukti secara inderawi, maka kita menyaksikan, mendengar, dan membaca bahwa manusia akan lurus berbagai urusan mereka dengan beriman kepada qadha’ dan qadar -dan telah lewat penjelasan tentang hal ini pada pembahasan “Buah Keimanan kepada Qada’ dan Qadar”-. Orang-orang yang benar-benar beriman kepadanya adalah manusia yang paling berbahagia, paling bersabar, paling berani, paling dermawan, paling sempurna, dan paling berakal.

Seandainya keimanan kepada takdir tersebut tidaklah nyata, niscaya mereka tidak mendapatkan semua itu.

Kemudian, qadar adalah “sistem tauhid,” [15] sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dan tauhid itu sendiri adalah sebagai sistem kehidupan. Maka kehidupan manusia tidak akan benar-benar istiqamah (lurus), kecuali dengan tauhid, dan tauhid tidak akan lurus kecuali dengan beriman kepada qadha’ dan qadar.

Mudah-mudahan apa yang akan disebutkan di akhir kitab ini mengenai kisah-kisah manusia yang menyimpang dalam masalah takdir akan menjadi bukti atas hal itu.

Kemudian dalam perkara yang telah diberitakan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, berupa perkara-perkara ghaib di masa mendatang yang telah terjadi, sebagaimana disebutkan dalam hadits, adalah bukti yang jelas dan nyata bahwa iman kepada qadar adalah hak dan benar.

[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indoensia Kupas Tuntas Masalah Takdir, Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikhu, Sag. Penerbit Pustaka Ibntu Katsir]


_______

Footnote
[1]. HR. Muslim, kitab al-Iimaan, (I/38, no. 8).
[2]. Muslim, (no. 2655) diriwayatkan juga oleh Ahmad dalam al-Musnad, yang
diteliti oleh Ahmad Syakir, (VIII/152, no. 5893), dan diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa’, (II/879).
[3]. HR. Muslim, (no. 2664).
[4]. Syarh Shahiih Muslim, an-Nawawi, (I/155).
[5]. Fat-hul Baari, (XI/287) lihat, Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah, al-Lalika-i, (III/534-538), di mana dia menukil ijma’ atas hal itu dari sejumlah besar kaum salaf, dan lihat, Majmuu’ul Fataawaa, (VIII/449, 452, 459).
[6]. Diiwaan ‘Antarah, hal. 74.
[7]. Syarh al-Mu’allaqaatil ‘Asyr, az-Zauzani, hal. 119.
[8]. Al-Mufadh-dhaliyyaat, al-Mufadh-dhal adh-Dhabi, hal. 197.
[9]. Al-Mufadhdhaliyyaat, hal. 151.
[10]. Syarh Diiwaan Zuhair bin Abi Sulma, hal. 25.
[11]. Al-Amaali, Abu ‘Ali al-Qali, (I/171), Jamharatul Khuthabil ‘Arab, Ahmad Zaki Shafwat, (I/37), dan Taariikhul Adabil ‘Arabi, Ahmad Hasan az-Zayyat, hal. 33.
[12]. Lihat, Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah, al-Lalika-i, (III/538) dan lihat, (IV/704-705) dari kitab yang sama.
[13]. Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah, al-Lalika-i, (IV/705), dan lihat, Syi’r Labid Ibn Rabi’ah baina Jaahiliyyatih wa Islaamih, Zakaria Shiyam, hal. 95.
[14]. Al-‘Ashma’iyyaat, al-‘Ashma’i ‘Abdulmalik bin Quraib, hal. 74.
[15]. Majmuu’ul Fataawaa, (II/113)
Beriman kepada Qadha’ dan Qadha’ Berbuah Ketenangan Hati

PERTEMUAN KE 2




(Materi disampaikan di kelas 9 A-H SMP Al-Azhar 3 Bandarlampung pada hari senin hingga jum'at tanggal 13-17 Januari 2020)

Perilaku Yang Mencerminkan Keimanan Kepada Qadha dan Qadha’

 1. Ikhtiar semaksimal mungkin
Perilaku yang mencerminkan keimanan kepada qadha Qadha’ adalah ikhtiar semaksimal mungkin atau berusaha dan bekerja keras. Karena dengan usahalah takdir menuju takdir Allah yang lebih baik akan terwujud. Tanpa adanya usaha, maka kemungkinannya sangat kecil kecuali benar-benar orang yang beruntung.

2. Etos kerja yang tinggi
Usaha membutuhkan keseriusan, artinya tidak hanya dilakukan sekali dua kali tetapi berkali kali dan pantang menyerah. Apabila seseorang sudah terbiasa dengan kerja keras, maka akan menjadi kebiasaan dalam hidupnya dan karakter akan terbentuk dengan sendirinya. Karakter inilah yang disebut dengan etos kerja yang tinggi, yaitu karakter pantang menyerah, profesional dan tanggung jawab.

3. Selalu berdoa
Ikhtiar saja tidak cukup, harus dibarengi dengan doa agar memuluskan perjalanan. Tidak hanya doa kita saja, tetapi doa orang-orang tercinta seperti ibu, bapak, keluarga atau kerabat. Doa juga menyadarkan kita bahwa semua usaha yang kita lakukan, pada akhirnya adalah Allah yang menentukan. Sehingga kita harus memohon agar apa yang kita usahakan dapat tercapai.

4. Bersukur dan bersabar
Orang yang mengimani qadha dan qadhar hari-harinya dihiasi dengan rasa syukur dan kesabaran. Bersyukur ketika mendapatkan nikmat berupa keberhasilan, kemenangan atau sesuatu yang diinginkan tercapai. Selain bersyukur juga bersabar, yakni bersabar ketika mendapatkan musibah, kegagalan atau cobaan hidup yang lain.

5. Huznuzdzzon kepada Allah
Sebagai hamba-Nya kita diperintahkan untuk berperasangka baik kepada Allah SWT, karena dalam sebuah hadits menyebutkan bahwa Allah SWT adalah seperti yang hamba-Nya sangkakan. Jika kita berprasangka baik, InshaAllah Allah akan memberikan kita yang terbaik. Selain berprasangka baik kita juga harus bersikap raja’ atau berharap, berharap yang terbaik untuk kita.

6. Bertawakal kepada Allah dan ridha dengan takdir Allah
Setelah berikhtiar dengan maksimal dan berdoa, kita selanjutnya bertawakal atau menyerahkan semuanya kepada Allah SWT. Beriman kepada qadha dan Qadha’ akan membuat orang tidak terpaku pada hasilnya saja, melainkan terhadap proses. Masalah hasil itu adalah urusan Allah SWT. Kita harus ridho dengan hasil yang diperoleh, dan meyakini bahwa hasil tersebut merupakan yang terbaik buat kita.

Manfaat Beriman Kepada Qadha’ Dan Qadha’

Beriman kepada Qadha’ dan Qadha’ adalah merupakan bagian dari rukun iman yang ke-6. Bahwa tidak akan sempurna keimanan seseorang bila ia tidak beriman kepada rukun iman ini. manfaat beriman pada Qadha’ dan Qadha’ kepada setiap insan adalah sebagai berikut

1. Terhindar Dari Sifat Yang Sombong
Banyak sekali manfaat dari mengamalkan salah satu bagian dari rukun iman ini. percaya pada wada dan Qadha’ akan menghindarkan diri dari sifat sombong dan angkuh. Merasa diri lebih baik dan merendahkan yang lain.

Dari pengertian Qadha’ dan Qadha’  dapat disimpulkan bahwa semua itu adalah ketetapan Allah SWT, zat yang maha tinggi. Tidak ada kekuasaan lain melebihi kuasanya. Dan tidak ada satupun mahluk yang pantas menyombongkan diri kecuali hanya Dia sang pencipta.

2. Menjadi Pribadi Yang Tenang
Saat paham dan mengetahui pasti mengenai Qadha’ dan Qadha’. Tentang kehidupan yang telah digariskan. Mengenai alam semesta yang telah diatur oleh Allah SWT. Maka apapun yang terjadi tidak akan membuat risau, tidak akan pernah berpengaruh sehingga menjadi was-was.

Sikap hati selalu tenang dan tidak merasa risau dengan kehidupan dunia. Semua ini diperoleh karena yakin bahwa semua yang terjadi adalah yang memang Allah SWT kehendaki.

3. Menjadi Insan Yang Optimis
Pengertian Qadha’ dan Qadha’, mencangkup takdir yang dapat dirubah berdasarkan usaha. Menjadi hamba yang optimis dan penuh dengan pengharapan. Percaya bahwa tidak ada segala sesuatu yang tidak bisa diusahakan.

Percaya diri akan kemampuan yang Allah SWT telah anugrahkan. Maka semangat untuk menjalani aktivitas dapat terpompa dengan maksimal.

4. Mendidik Untuk Selalu Bersyukur
Mensyukuri segala sesuatu tentang hidup yang dijalani adalah salah satu hikmah dari beriman pada Qadha’ dan Qadha’. Menerima bahwa segala sesuatu yang diberikan telah di takar sesuai dengan kemampuan.

Dan semua yang diberikan adalah yang terbaik menurut Allah swt bagi setiap hambanya. Sadar mengenai hal ini rasa syukur akan terus terucap dalam diri.

Berikut tadi sedikit pengetahuan mengenai pengertian Qadha’ dan Qadha’ semoga dapat bermanfaat. Sebagai seorang hamba akan lebih utama jika terus menambah pengetahuan mengenai agama.

Seperti yang pepatah katakan bahwa ilmu adalah tiang agama. Rasa ingin tau yang dilandasi dengan ketakwaan akan menjadikan sebagai insan yang hidup berdasarkan tuntutan yang di ridhoi oleh agama.
Beriman kepada Qadha’ dan Qadar Berbuah Ketenangan Hati

PERTEMUAN KE 1




(Materi disampaikan di kelas 9 A-H SMP Al-Azhar 3 Bandarlampung pada hari senin hingga jum'at tanggal 06-10 Januari 2020)


Pengertian Qadha’ dan Qadar

Islam sebagai agama yang paling mulia telah mengatur segala kehidupan umatnya. Baik dalam hal besar sampai dengan detail kehidupan yang akan dijalani oleh manusia. Secara terinci telah disampaikan dalam kitab Alquran dan al Hadist.

Begitu juga mengenai ketetapan yang telah digariskan. Bekal tersebut akan dapat memberikan pemahaman mengenai pengertian Qadha’ dan Qadar dalam kehidupan.

Mengapa harus paham tentang pengertian Qadha’ dan Qadar?

Karena pemahaman inilah yang akan membekali dalam mengarungi samudra kehidupan. Mengajarkan tentang rasa syukur dan penerimaan. Untuk lebih lanjut mengenai pembahasan Qadha’ dan Qadar akan diuraikan di bawah ini:

Arti Dari Kata Qadha’ dan Qadar

Qadha’ dan Qadar merupakan dua kata yang memiliki hubungan yang sangat erat. Sama-sama memberi pengaruh yang besar terhadap kehidupan manusia. Namun sebenarnya Qadha’ dan Qadar memiliki arti yang sangat berbeda. Pengertian Qadha’ dan Qadar kemudian akan dibahas secara terpisah,

1. Pengertian Qadha’
Kata Qadha’ sebenarnya merupakan sebuah kata yang tidak asing. Beberapa kali kata ini disebutkan dalam Al quran. Arti kata Qadha’ secara bahasa adalah ketetapan. Yaitu sesuatu kepastian yang telah dibuat sejak sebelum kelahiran, yaitu di jaman Azali.

Ketetapan yang membawa setiap kehidupan manusia. Kesempurnaan Allah SWT terlihat dari betapa rinci Allah SWT telah mengatur kehidupan setiap umat. Bahkan ketetapan telah diberikan jauh sebelum kelahiran manusia-manusia ke bumi.

2. Pengertian Qadar
Istilah yang kedua dalam bahasan mengenai ketetapan yang Allah SWT berikan adalah Qadar. Dapat diartikan bahwa Qadar merupakan ukuran atau pertimbangan. Yang jika disimpulkan bahwa Qadar adalah suatu ketetapan yang telah diciptakan berdasarkan oleh ukuran Allah SWT pada setiap diri manusia.

Jadi Qadha’ berarti ketetapan atau aturan, Qadar adalah ukuran. Namun istilah tersebut digunakan secara bersamaan untuk menggambarkan sebuah kepastian mengenai hukum dari Allah SWT.

Pengertian Qadha’ dan Qadar secara umum

Qadha’ dan Qadar sangat identik dengan Islam. Namun ternyata Qadha’ dan Qadar berlaku umum untuk seluruh manusia di bumi ini. Istilah Qadha’ dan Qadar lebih sering didengar dengan istilah takdir. Yang dimaksud dengan pengertian Qadha’ dan Qadar dalam keseharian tak lain adalah takdir itu sendiri.

Takdir menjadi satu yang mengikat pada kehidupan. Merupakan suatu ketetapan dan bergantung dengan kegiatan manusia itu sendiri. Hukum takdir akan berkesinambungan dan saling berpengaruh dengan hukum sebab akibat.

Meskipun semua telah ditetapkan oleh Allah SWT sebelum kelahiran, manusia menjadi penentu dalam kehidupan yang dijalaninya.

Pembagian Takdir
setelah dibahas mengenai pengertian Qadha’ dan Qadar atau takdir. Untuk berikutnya akan dijelaskan mengenai macam-macam takdir.  Takdir sendiri tidak mutlak tanpa pembagian. Namun takdir akan dibagi lagi menjadi dua jenis.

1. Takdir Muallaq
Bagian dari Qadha’ dan Qadar yang pertama akan dibahas adalah mengenai takdir muallaq. Yaitu suatu ketetapan yang sebenarnya sudah ada sejak zaman Azali jauh di waktu lampau. Namun dalam kenyataan di kehidupan takdir ini dapat menyesuaikan dikarenakan oleh sebab perbuatan manusia itu sendiri.

Hukum sebab akibat, tentang bagaimana keras manusia berdoa dan berusaha akan menentukan. Kegagalan menjadi tidak akan pernah terjadi jika manusia itu tekun dan bersungguh-sungguh dalam usaha dan berdoa.

Takdir muallaq ini dapat dicontohkan, kemiskinan yang tidak akan terjadi pada orang yang hemat dan rajin bekerja. Nilai jelek tidak didapatkan oleh siswa yang memperhatikan dan belajar dengan giat.

2. Takdir Mubram
Pengertian Qadha’ dan Qadar menjadi meluas saat mengetahui bahwa takdir itu tidak hanya dibagi dalam satu jenis saja. Takdir mubram yaitu takdir yang merupakan suatu ketetapan dan menjadi kepastian tidak dapat ditawar,

Banyak yang menyebutkan bahwa kematian, kelahiran, dan jodoh adalah bagian dari takdir mubram. Namun sebenarnya tidak hanya itu. Semua ketetapan pasti menjadi takdir mubram. Termasuk didalamnya adalah tentang kiamat, tentang siapa orang tua dan dimana dilahirkan.

Hal-hal semacam itu tidak akan pernah dapat dirubah oleh manusia. Bahkan dengan menggunakan kepintaran dan teknologi apapun. Ketetapan Allah SWT tersebut akan tetap terjadi.

Landasan Hukum Yang Mengatur Mengenai Qadha’ dan Qadar

Dalam islam menjadi sangat penting untuk melaksanakan suatu perintah dengan mengetahui dasar hukum yang mengatur. Islam mendidik umatnya untuk dapat pandai dengan banyak belajar. Setelah mengetahui mengenai pengertian Qadha’ dan Qadar maka perlu pula mengetahui landasan hukum yang mengaturnya.

Dalam Al-Quran ketetapan Qadha’ dan Qadar disampaikan dalam surat Al Furqon ayat 2. Yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, ayat tersebut berarti:

Yang KepunyaanNya lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi Nya, dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.

Telah jelas diterangkan diatas bahwa penciptaan segala sesuatu tidak ada yang tanpa perhitungan. Dan semua telah di atur dalam ketetapan Allas SWT.