TUNTUNAN PENYEMBELIHAN HEWAN MENURUT ISLAM
PERTEMUAN KE 1
(Materi disampaikan di kelas 9 A-H SMP Al-Azhar
3 Bandarlampung pada hari senin hingga jum'at tanggal 10-14 Februari 2020)
Apa saja
yang harus diperhatikan ketika menyembelih hewan?
Syariat
Islam mengatur ketentuan mematikan hewan sebelum dikonsumsi, yaitu dengan
menyembelih. Sehingga darah dalam tubuh hewan bisa keluar hingga tersisa
dagingnya.
Tetapi,
menyembelih hewan tak boleh sembarangan. Dalam ketentuan syariat, ada beberapa
urat yang harus putus ketika hewan disembelih agar halal dikonsumsi.
Dikutip
dari laman Rumah Fiqih Indonesia, Ustaz Ahmad Sarwat Lc menjelaskan sedikitnya
ada empat saluran yang terdapat pada leher hewan yang boleh dan tidak boleh
putus. Empat saluran tersebut yaitu hulqum, mari', dan dua wadaj.
Hulqum
adalah saluran pernapasan atau tenggorokan. Mari' yaitu saluran untuk jalur
makanan dan minuman atau kerongkongan.
Sedangkan
dua wadaj adalah saluran sirkulasi dasar. Dalam bahasa biologi dikenal dengan
vena dan arteri.
Terkait
saluran mana yang harus putus, para ulama punya pandangan yang berbeda satu
sama lain. Mazhab Hanafi menyebutkan minimal tiga atau keempat saluran itu
harus putus dan lebih baik jika semuanya putus.
Mazhab
Maliki berpandangan saluran makanan tidak harus putus. Tetapi, dua saluran
darah dan saluran pernapasan harus putus.
Mazhab
Syafi'i punya pandangan berbeda lagi. Mazhab ini justru menyatakan saluran
darah tidak harus putus. Sedangkan saluran makanan dan pernapasan harus putus.
Lain lagi
dengan pandangan Mazhab Hambali. Mazhab ini mengharuskan dua saluran darah
putus. Sementara dua saluran lainnya yaitu pernapasan dan makanan tidak musti
putus.
QURBAN
Kata
kurban dalam bahasa arab berarti “udlhiyah”. Udlhiyah dan dluha pada awalnya
bermakna “waktu dluha” yaitu waktu antara dari pukul 7 pagi hingga pukul 11
siang. Kemudian dijadikan sebagai nama bagi sembelihan kurban yang
pelaksanaannya dianjurkan pada waktu dluha, di hari ke-10,11,12 dan 13
Dzulhijjah.
Secara
bahasa “udlhiyah” atau jamaknya “dhahaya” berarti hewan sembelihan, atau
menyembelih binatang pada pagi hari. Jadi definisi kurban (arabnya udlhiyah)
ialah binatang yang disembelih pada hari raya kurban (Idul Adha). Dalam ilmu
fiqh, kurban berarti penyembelihan hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri
kepada Allah SWT. (kurban) pada hari raya haji (Idul Adha) dan atau hari Tasriq
(tanggal 10,11,12 dan 13 dzulhijjah).
Sedangkan
menurut Wahbah al-Zuhaili, kurban (udlhiyah) secara bahasa ialah nama untuk
suatu hewan yang disembelih, atau untuk hewan yang disembelih pada hari raya
Idul Adha, sedangkan menurut fiqh kurban ialah menyembelih hewan tertentu
dengan niat mendekatkan diri kepada Allah di dalam waktu tertentu. Muhammad
al-Khatib al-Syarbani memberi definisi kurban (udlhiyah) sebagai berikut :
وَهِيَ مَا يُذ بَحُ مِنَ النَّعَمِ تَقَرُّبًا
إِلى اللهِ تَعَاَلى مِنْ يَوْمِ العِيْدِ إِلَى أخِرِ أيَّام التَّشْرِيْقِ
Artinya :
“Kurban ialah hewan yang disembelih dari jenis hewan ternak untuk mendekatkan
diri kepada Allah di hari raya Idul Adha sampai akhir hari tasyrik.“
Dan
menurut Al-Jaziri kurban ialah untuk menyebutkan sesuatu hewan dari jenis hewan
ternak yang disembelih atau dijadikan kurban untuk mendekatkan diri kepada
Allah SWT. di hari raya Idul Adha baik dia sedang melaksanakan ibadah haji
ataupun tidak mengerjakan.Dari definisi –definisi tersebut di atas, kurban
adalah penyembelihan hewan ternak yang dilakukan pada hari raya Idul Adha dan
sampai akhir hari
tasyrik
(tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijah) untuk mandekatkan diri kepada Allah SWT.
Dasar
Hukum Kurban
Al-Qur’an
maupun al-Sunnah sebagai sumber pokok hukum Islam banyak sekali menyebutkan
tentang ibadah kurban, dan memerintahkan secara jelas dan tegas di antaranya :
وَلِكُلِّ اُمَّةٍ جَعَلنَا مَنْسَكًا لِيَذْ كُرُوا
اسْمَ اللهِ عَلى مَارَزَقهُمْ مِنْ بَهِيْمَة
Artinya :
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syari’atkan penyembelihan (kurban) supaya
mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizqikan Allah
kepada mereka”. (QS. Al-Hajj : 34)
Ayat
al-Qur’an tersebut menunjukan adanya anjuran supaya berkurban untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT. yaitu dengan menyembelih binatang ternak. Ayat lain
dalam surat al-Kautsar dinyatakan, sebagai berikut :
إِنَّاَ أعْطيْنَاكَ اْلكَوْثَر. فَصَلِّ لِرَبِّكَ
وَانْحَرْ. إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ اْلأبْتَرُ.
Artinya :
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka
dirikanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah, sesungguhnya orang-orang
yang membenci kamu dialah yang terputus” . (QS : al-Kautsar:1-3)
Surat
tersebut menunjukan agar selalu beribadah kepada Allah SWT. Dan berkurban
sebagai tanda bersyukur atas nikmat yang telah dilimpahkan-Nya. Sedangkan
hadits Nabi SAW yang menjadi dasar hukum kurban diantaranya :
يَا يُّهَاالنَّاسُ اِنَّ عَلى كُل أهْلِ بَيْتٍ
في كلِّ عَامٍ أُضْحِيَّة )رواه أبو داود(
Artinya :
“Hai manusia, sesungguhnya atas tiap-tiap ahli rumah pada tiap-tiap tahun
disunatkan berkurban”. (HR. Abu Dawud).
Hadits
Nabi SAW tersebut menerangkan bahwa berkurban itu bukanlah ditentukan untuk
sekali saja melainkan disunatkan tiap-tiap tahun kalau ada kesanggupan untuk
berkurban. Dalam hadits yang lain Nabi SAW bersabda:
عَنْ أبِي هُرَيْرَة: َأنَّ رَسُوْل اللهِ صلى الله
عليه وسلم قال : مَنْ كَانَ لهُ سَعَة وَلمْ يَضَحْ فَلا يَقْربَنَّ مُصَلَّانَا )رواه احمد وابن
ماجه(
Artinya :
“Dari Abi Hurairah: Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: Barang siapa yang
mempunyai kemampuan tetapi tidak berkurban, maka janganlah ia menghampiri
tempat shalat kami” . (HR. Ahmad dan Ibn Majah)
Dalil-dalil
nash tersebut di atas, menurut jumhur ulama bahwa hukum kurban ialah sunat
muakad dan bukan wajib. Namun menurut Abu Hanifah hukum kurban ialah wajib,
karena menurut Abu Hanifah suatu perintah menuntut adanya kewajiban. Istilah
wajib disini menurut Abu Hanifah kedudukannya sedikit lebih rendah dari pada fardlu,
dan lebih tinggi dari pada sunnah, karena hukumnya wajib, maka berdosalah orang
yang meninggalkannya jika ia tergolong orang yang mampu. Selain madzhab Hanafi
mengatakan bahwa hukum kurban ialah sunnat muakad dan tidak wajib, namun
dimakruhkan bagi orang yang mampu berkurban dan tidak melaksanakan ibadah
kurban.
Sejarah
Di syari’atkannya Kurban
Ibadah
kurban termasuk syari’at Nabi Ibrahim A.S. dan beliaulah yang mula-mula
melaksanakannya. Nabi bersabda :
عَنْ زَيْدِبْنِ أرْقمْ قال : قال َأصْحَابُ رَسُوْلِ
اللهِ صلى الله عليه وسلم : يَارَسُوْل اللهِ مَا هَذِهِ الأُضْحِيُّ؟ قَالَ : سُنَّة
أبِيْكمْ إِبْرَاهِيْمَ )رواه ابن ماجه(
Artinya :
“Dari Zaid Ibn Argam berkata : para sahabat Rasulullah SAW bersabda : ada apa
dengan kurban ini ? Nabi bersabda: Sunnah bapakmu Ibrahim” . (HR. Ibn Majah)
Kita
melaksanakan kurban karena meneladani sunnah Nabi Ibrahim, dan mengenang
peristiwa agung yaitu penyembelihan kurban, Ibrahim mendapatkan wahyu dalam
mimpi untuk menyembelih anaknya Ismail. Beliau mematuhi isi wahyu tersebut,
lalu menemui putranya dan buah hatinya itu, anak yang baru dimiliki Ibrahim
setelah ia lanjut usia. Ismail adalah anak yang dirindukan kelahirannya, namun
setelah Allah SWT memberinya kegembiraan berupa anak, tiba-tiba datanglah wahyu
agar menyembelih putranya itu. Ini merupakan ujian yang sangat berat bagi Nabi
Ibrahim dan putranya.
Dalam
kondisi seperti itu tiba-tiba perintah Allah SWT datang “Sembelihlah dia” Allah
SWT hendak menguji hati Ibrahim, apakah dia masih setia dan tulus ikhlas kepada
Allah SWT, ataukah hatinya bergantung dan sibuk dengan anaknya. Ibrahim lulus
dalam menghadapi ujian ini. Ia pergi menemui anaknya, ia tidak mengambilnya
dengan tiba-tiba dan tidak pula mencari kelengahannya, tetapi dikemukakan hal
itu secara terang-terangan dengan menyatakan :
يبُنَيَّ إِنِّى أرى فِى المَنَامِ إِنِّىَ أذْبَحُكَ
فانْظرْ مَاَذا تَرَى) الصفات : ١٥٢ (
Artinya :
“Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembilihmu, maka
pikirkanlah bagaimana pendapatmu” . (QS. Ash Shafaat : 102)
Ismail
anak yang patuh dan mengerti kedudukan orang tuanya dan posisi sebagai anak, ia
tidak membangkang atau tidak bimbang. Dengan penuh keimanan dan kepercayaan
sebagai seorang mukmin, ia berkata :
يَأبَتِ أْفعَل مَا
تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِى إِن شَاءَ الله منَ الصَّابِرِيْنَ ( الصفات : ١٠٢(
Artinya :
“Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insyaAllah kamu akan
mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar“. (QS. Ash Shafaat : 102)
Suatu
jawaban yang memancarkan keimanan, tawadhu’ dan tawakal kepada Allah SWT. Dan
tatkala keduanya telah berserah diri (si ayah telah menyerahkan anaknya, dan si
anak telah menyerahkan lehernya) Dan Nabi Ibrahim telah membaringkan anaknya
atas pelipisnya (hendak melaksanakan perintah-Nya), tiba-tiba datanglah kabar
gembira kepadanya, sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an:
فَلمَّاَ أسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِيْنَ. وَنَادَيْنَهُ
َأن يَاِ بْرَاهِيْمُ. قَدْ صَدقْتَ الرُّءْيَا إِنَّا كذلِكَ نَجْزِىْ المحْسِنِيْنَ.
إِنَّ هذا َلهُوَ البَلائ المُبِيْنُ. وَفدَيْنَهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ (الصفات
:١٠٧–١٠٣(
Artinya:
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas
pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya), dan Kami panggil dia “hai
Ibrahim, sesungguhnya kamu telah
membenarkan
mimpi itu, sesunggguhnya Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat
baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak
itu dengan
seekor
sembelihan yang besar” . (QS. Ash Shafaat :103-107)
Tatkala
Ismail sedang dibaringkan, malaikat Jibril datang kepada Ibrahim dengan membawa
seekor kibas (domba) seraya berkata : ”Sembelihlah ini sebagai ganti dari
anakmu”, lalu jadilah yang demikian itu sebagai sunnah, dan kita menyembelih
kurban untuk mengenang peristiwa itu. Setelah datang Nabi Muhammad SAW maka
menyembelih hewan atau berkurban itu disyari’atkan pula kepada umatnya yang
dilakukan pada hari raya Idul Adha dan hari –hari Tasyriq.
Syarat-syarat
Kurban
1.
Macam-macam hewan kurban.
Ulama
sepakat bahwa sesungguhnya hewan kurban itu tidak sah kecuali dari hewan
ternak, yaitu : unta, sapi (termasuk kerbau), kambing (termasuk biri-biri) dan
segala macamnya, baik jantan atau betina. Kurban tidak boleh dengan selain
binatang ternak (bahimatul an’am) seperti sapi liar, kijang dan sebagainya.20
Berdasarkan firman Allah SWT. :
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلنَا مَنْسَكا لِيَذْكرُوا
اسْمَ اللهِ عَلىَ مَارَزَقهُمْ مِنْ بَهِيْمَة الأَنْعَامِ
( الحج : ٣٤(
Artinya :
“Dan bagi tiap-tiap umat telah kami syari’atkan penyembilihan (kurban) supaya
mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dirizkikan Allah
kepada mereka“. (QS. Al-Hajj : 34)
Arti
lafadz “bahimatul an’am” pada ayat tersebut adalah unta, sapi dan kambing.
Nabi dan
para sahabatnya tidak pernah melakukan kurban, dengan selain hewan ternak,
karena kurban adalah ibadah yang berhubungan dengan hewan, maka ini ditentukan
dengan hewan ternak. Ulama sepakat bahwa yang bisa dijadikan kurban ialah hewan
ternak yang temasuk kelompok bahimatul an’am, yaitu : unta, sapi dan kambing.
Namum mereka berbeda pendapat mengenai hewan mana yang lebih utama. Ulama-ulama
Malikiyah berpendapat, yang lebih utama adalah kambing, kemudian sapi, kemudian
unta, karena dipandang dari segi bagusnya daging, karena Nabi SAW., berkurban
dengan dua kambing kibas, dan Nabi tidak melakukan kecuali yang lebih utama
dahulu.
Sedangkan
ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat sebaliknya. Menurut mereka hewan
kurban yang lebih utama adalah unta, kemudian sapi, kemudian biri-biri ,
kemudian kambing kacang. Karena dipandang dari segi banyaknya daging dan untuk
maksud memberi kelapangan bagi orang-orang fakir. Menurut Hanafi yang lebih
utama ialah, yang lebih banyak dagingnya tanpa membedakan binatang mana yang
lebih utama, namun apabila kedua hewan tersebut, sama banyak dagingnya, maka
yang lebih utama adalah yang lebih bagus dagingnya.
2. Sifat
hewan yang dikurbankan
Binatang
yang dijadikan kurban itu hendaklah binatang yang sehat, bagus, bersih dan enak
dipandang mata, mempunyai anggota tubuh yang lengkap, tidak ada cacat, seperti
: pincang, rusak kulit dan sebagainya,
sebagaimana
yang diterangkan dalam hadits :
عَنْ بَرَاءِ بْنِ عَازِبْ قال: قَال رَسُول اللهِ
صَلى عَليْهِ وَسَلَّمْ أرْبَعٌ لاتجزئ فِى الأضَاحِي العَوْرَاءُ البَيِّن عَوْرُهَا
وَاَلمرِيْضَةُ البَيِّن مَرِيْضُهَا وَالعَرْجَاءُ البين طْلعُهَا وَالكسِيْرَةُ الَّتِى
لاتُنْقِى (رواه ابو داود وابن ماجه(
Artinya :
“Dari Bara’ Ibn. ‘Azib berkata: Rasulullah SAW, bersabda: Empat macam binatang
yang tidak boleh dijadikan binatang kurban, yaitu yang buta lagi jelas
kebutaannya, yang sakit lagi jelas sakitnya, yang pincang lagi jelas
kepicangannya dan binatang yang kurus kering dan tidak bersih” . (HR. Abu Dawud
dan Ibn Majah)
Syarat
hewan kurban ialah harus selamat dari cacat, yang dapat mengurangi dagingnya,
maka tidak boleh berkurban dengan hewan yang kurus, majnun (stress) dan yang
terpotong sebagian kupingnya, yang pincang, yang buta, yang sakit dan yang
mempunyai penyakit kulit yang jelas, dan hewan yang tidak mempunyai tanduk, dan
juga hewan yang sobek dan berlubang daun telinganya. Hewan kurban ialah hewan
yang dipersembahkan kepada Allah SWT.
Sebagai
wujud ketakwaan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT, maka hewan yang
disembelih hendaklah hewan yang benar-benar sehat, bagus, tidak cacat, dan enak
dipandang mata. Dalam hadits diterangkan bahwa Rasulullah SAW berkurban dengan
dua ekor kambing yang bagus dan enak dipandang mata :
عَنْ أنَسٍ قال : ضُحَى النَّبِىُّ صلى الله عليه
وسلم بِكبْشَيْنِ أقْرَنَيْنِ ذبَحَهُمَا بِيَدِهِ وَسَمَّى وَ كبَّرَ (رواه البخاري
ومسلم(
Artinya :
”Dari Anas berkata : “Bahwasannya Nabi SAW telah berkurban dengan dua ekor
kibas yang enak dipandang mata lagi mempunyai tanduk. Beliau menyembelih
sendiri dengan membaca basmalah dan mengucapkan takbir” (HR. al-Bukhari dan
Muslim).
Hadits
tersebut menerangkan bahwa Nabi berkurban dengan dua ekor kambing kibas yang
bagus dan enak dipandang mata. Hewan kurban adalah sembelihan yang dikurbankan
untuk Allah SWT, maka sebaiknya memilih hewan yang gemuk dan bagus. Sebaiknya
seorang muslim memberikan sesuatu yang lebih utama kepada Allah SWT, jangan
sebaliknya memberikan sesuatu kepada Allah SWT yang dia sendiri tidak
menyukainya.
3. Umur
hewan kurban
Para
ulama sepakat, bahwa kambing atau domba yang akan dijadikan hewan kurban adalah
yang telah tanggal dan berganti gigi surinya atau yang lebih tua dari itu,
berdasarkan hadits :
عَنْ جَابِرٍ قال: قال رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم: َلاتَذبَحُوْا إِلَّامُسِنَّة اِلَّا َأن يَّعْسُرَ عَليْكمْ فَتَذْبَحُوْا
جَذعَة مِنَ الضَّأْنِ (رواه الجماعة الا البخاري(
Artinya:
“Dari Jabir berkata: bersabda Rasulullah SAW janganlah kamu menyembelih untuk
kurban melainkan yang “musinah” (berumur dua tahun), jika kamu sukar
memeperolehnya maka sembelihlah hewan yang berumur satu tahun”. ( HR. Jama’ah
selain Bukhari)
Yang
dimaksud dengan musinah ialah : kalau kambing ialah yang telah sempurna berumur
dua tahun dan telah masuk tahun ke tiga. Dan musinah dari unta ialah yang telah
sempurna berumur lima tahun dan sudah masuk tahun ke enam. Dan musinah dari
sapi ialah sapi yang telah sempurna berumur dua tahun dan sudah masuk tahun ke
tiga.30 Dan kambing yang telah tanggal giginya (jadzah) ialah kambing yang
telah sempurna berumur satu tahun dan sudah memasuki tahun ke dua dan juga
boleh dengan kambing yang giginya tanggal sebelum sempurna umurnya satu tahun.
Rasullullah
pernah membolehkan kaum muslimin berkurban dengan anak kambing, sebagaimana
diterangkan dalam hadits :
عَنْ عُقْبَة بْنِ عَاِمٍر الجُهَنِىَّ قال: َقسَمَ
رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فِيْنَا ضَحَايَا فَأصَابَنِى جَذعٌ فقُلْتُ: يَارَسُوْل
اللهِ إِنَهُ أصَابَنِى جَذعٌ فَقَال ضَحَّ بِهِ (رواه البخارى ومسلم
(
Artinya :
”Dari Uqbah ibn Amir al-Juhani berkata : Rasulullah SAW membagi kepada kami
hewan kurban, maka saya memperoleh anak kambing, saya berkata, Ya Rasulullah
saya hanya memperoleh anak kambing, Rasulullah menjawab, berkurbanlah dengan
anak kambing itu“. (HR. Bukhari Muslim)
Sebenarnya
berkurban dengan anak kambing di bawah umur satu tahun atau anak sapi di bawah
umur dua tahun atau anak unta di bawah umur lima tahun tidak mencukupi, tetapi
dibolehkan jika terpaksa karena sukar mendapatkan musinah.
4. Waktu
Peyembelihan Hewan Kurban
Penyembelihan
hewan kurban dilakukan pada hari-hari raya Idul Adha (10 Dzulhijjah) dan hari
Tasyriq, yaitu 11,12, dan 13 Dzulhijjah, berdasarkan firman Allah SWT :
لِيَشْهدُوْا مَنَافِعَ َلهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ
اللهِ فِي أيَّامٍ مَعْلوْمَاتٍ عَلى مَارَزَقهُمْ مِنْ بَهِيْمَةِ الأنْعَامِ َفكُلوْا
مِنْهَا وَأطْعِمُواْ البَائِسَ الَفقِيْرَ (الحج : ٢٨(
Artinya :
“Supaya mareka mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka
menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan. Atas rezeki yang Allah
telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak maka makanlah sebagian
daripadanya (dan sebagian lagi) berikan untuk dimakan orang-orang yang sengsara
lagi fakir” . (QS. Al-Hajj. 28)
Yang
dimaksud dengan hari-hari yang ditentukan (ayyam maklumat) pada ayat diatas
ialah hari raya Idul Adha dan hari Tasyriq.34 Yaitu tanggal 11, 12 dan 13
Dzulhijjah. Hal ini dijelaskan lagi oleh hadits Nabi.
عَنْ جَبِيْرِ بْنِ مَطعَمْ قَال النبي صلى الله
عليه وسلم كلّ أيَّامِ التَّشْرِيْقِ ذَبْحٌ
(رواه احمد(
Artinya :
“Dari Jubair bin Muth’im berkata. Bersabda Nabi SAW seluruh hari Tasyriq
merupakan waktu penyembelihan”. (HR. Ahmad)
Disyaratkan
hewan kurban untuk tidak disembelih kecuali setelah terbitnya matahari dihari
raya Idul Adha, dan kira-kira telah dilaksanakan shalat Idul Adha dan sah
disembelih tiga hari setelah itu baik siang atau
malam
kecuali setelah habisnya hari tersebut. Dalam hadits diterangkan :
عَنْ أنَسِ ابْنِ مَالِكِ قال: قال النبي صلى الله
عليه وسلم: مَنْ ذبَحَ قبْل الصَّلَاة فإِنَّمَاَ ذبح لِنَفْسِهِ وَمَنْ ذبَحَ بَعْدَ
الصَّلَاةِ فَقدْ تَمَّ نُسكهُ وَأصَابَ سُنَّةْ المُسْلِمِيْنَ (متفق عليه(
Artinya :
“Dari Annas bin Malik : Nabi SAW bersabda “Barang siapa yang menyembelih (hewan
kurban) sebelum sholat Idul Adha, maka sesungguhnya ia menyembelih untuk
dirinya sendiri dan barangsiapa yang menyembelih sesudah shalat Idul Adha, maka
sesungguhnya sempurnalah ibadahnya dan mengikuti sunnah kaum muslim”. (Mutafaq
‘allaih)
Dalam
hadits lain diterangkan :
عَنْ جُنْدَ بْنِ سُفْيَانِ البَجَلِي قال: شَهدْتُ
النَّبي صلى الله عليه وسلم يَوْمَ النَّحْرِ فقال: مَنْ ذبَحَ قبْل أن يُصَلِّىَ فلْيُعِدْ
مَكَان أخَرَ وَمَنْ لمْ يَذبَحْ فلْيَذْبَح (رواه البخاري(
Artinya :
”Dari Jundab bin Sufyan al-Bajali, dia berkata “Aku menyaksikan Nabi SAW, pada
hari kurban. Beliau bersabda “ Barang siapa yang menyembelih kurban sebelum dia
melakukan sembahyang Idul Adha, maka ia hendaknya mengulang. Dan barang siapa
yang belum nemyembelih hendaklah dia lakukan“. (HR. Bukhori)
Hadits
tersebut menerangkan bahwa orang yang belum menyembelih hewan kurban sebelum
dilaksanakan shalat Idul Adha, maka ibadah kurbannya tidak sah, dan apabila
ingin sah kurbannya maka hendaknya ia
mengulang
lagi.
5. Jumlah
Hewan Kurban Untuk Satu Orang
Para
ulama ahli fiqih sepakat bahwa seekor biri-biri atau kambing hanya untuk
berkurban satu orang, dan seekor unta atau sapi boleh untuk berkurban tujuh
orang. Berdasarkan keterangan hadits :
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْد اللهِ أنَّهُ قال: نَحَرْنَا
مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم بِالْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَة عَنْ سَبْعَةٍ
وَالبَقرَة عَنْ سَبْعَةٍ (رواه مسلم والترمذي وأبوداود(
Artinya :
“Dari Jabir ibn Abdullah berkata : pada tahun perjanjian Hudaibiyah kami
menyembelih kurban bersama Nabi SAW unta untuk tujuh orang dan sap juga untuk
tujuh orang“. ( HR. Muslim, at-Tirmidzi dan Abu Dawud)
Jika
penyembelihan kurban tidak menurut ketentuan-ketentuan diatas, seperti seekor
kambing untuk lima orang, delapan orang, maka penyembelihan itu tidak termasuk
penyembelihan ibadah kurban tetapi menurut penulis hanyalah termasuk sedekah
saja, karena tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam ibadah kurban.
6. Hukum
Daging Kurban
Hukum
orang berkurban boleh memakan daging kurbannya dan menyedekahkannya. Hal ini
sesuai dengan firman Allah :
فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوْ بِهَا فَكُلوْا مِنْهَا
وَأطْعِمُواْ القَانِعَ وَالمعْتَرَّ (الحج : ٣٦(
Artinya:
“Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri
makanlah orang-orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak
meminta-minta) dan orang yang meminta”. (QS. Al-Hajj.36)
Yang
lebih utama pembagian daging kurban ialah sepertiga untuk dimakan, yang kurban,
sepertiga untuk disedekahkan, dan sepertiganya untuk disimpan. Berdasarkan
hadits Nabi SAW :
عَنْ عَائِشَة رَضِي الله عَنْهَا قالت دَفَّ النَّاس
مِنْ أهْلِ البَادِيَة حَضْرَةُ ْالأَضْحَى فِي زَمَاِن رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه
وسلم فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم ادْخِرُوا ا لثُلث وَتَصَدَّقوْا بِمَا بَقِي
(رواه ابو داود)
Artinya :
”Dari Aisyah Ra berkat : pernah manusia penduduk desa berduyunduyun untuk
menghadiri kurban di masa Rasulullah SAW. Maka bersabda Rasulullah SAW
“simpanlah sepertiga daging itu, dan sedekahkahnlah yang lainnya” (HR. Abu
Daud).
Menurut
Dr. Yusuf Qardhawi pembagian daging kurban yang lebih utama ialah menjadi tiga
bagian, yakni : sepertiga untuk dimakan oleh yang berkurban beserta keluarganya,
sepertiga untuk tetangga sekitarnya (lebih-lebih jika mereka tergolong
orang-orang yang berekonomi lemah atau tidak mampu berkurban), dan sepertiga
untuk fakir miskin. Seandainya yang bersangkutan (pengurban) menyedekahkan
seluruh daging kurbannya, tentu hal itu lebih utama dan lebih baik lagi, dengan
syarat ia harus mengambil berkah, seperti makan hatinya atau lainnya. Hal itu
sebagai bukti bahwa ia telah memakan sebagian dari dagingnya, sebagaimana yang
dilakukan oleh Nabi SAW, dan para sahabatnya.
Dalam
hadits diterangkan bahwa Rasulullah SAW, pernah melarang pengurban menyimpan
daging kurban beberapa hari, sebab terbukti bahwa pada waktu itu banyak orang
yang patut ditolong, layak diberi daging kurban, yakni mereka yang termasuk
dalam golongan fakir dan miskin. Pada waktu itu Rasulullah SAW, menyuruh mereka
agar berkurban untuk mengutamakan menyedekahkan kurbannya, dan mereka yang
berkurban hanya diberi izin mengambil daging kurbannya kira-kira cukup untuk
keperluan tiga hari saja.
Kemudian
pada tahun yang lalu itu masih tetap berlaku atau tidak, Rasulullah SAW pun
menerangkan bahwa peraturan tersebut ditetapkan karena pada tahun berikutnya
keadaan telah pulih kembali, tidak banyak yang memerlukan bantuan. Oleh karena
itu Rasulullah SAW memberikan izin untuk turut memakannya.
Seperti
diterangkan dalam hadits :
عَنْ سَلمَة بنِ الأَكْوَعِ قال: قال رسول الله
صلى الله عليه وسلم: مَنْ ضَحَّى مِنْكمْ َفلا يُصْبِحَنَّ بَعْدَ ثالَثةِ وَفِيْ بَيْتِهِ
مِنْهُ شَيْ فَلمَّاكَان العَامُ المُقْبِلُ قاُلوْا : يَارَسُوْل اللهِ نَفْعَلُ كمَا
فَعَلْنَا العَامَ الْمَاض قال: كُلوْا وَأطعِمُوْا وَأدَّخِرُوْا َفأِنَّ َذلِكَ
ْالعَامَ كَان بِالنَّاسِ جَهْدٌ فَأرَدْتُ أن تُعِيْنُوْا فِيْهَا (متفق عليه)
Artinya :
”Dari Salamah Ibn al-Akwa’ berkata : Nabi SAW bersabda barang siapa diantara
kamu sekalian berkurban maka janganlah. Menyimpan sesuatu pun (dari daging
kurban) setelah tiga hari. Kemudian pada tahun berikutnya para sahabat bertanya
: Wahai Rasulullah apakah kami melakukan seperti tahun lalu? Rasulullah
bersabda ”makanlah (dari kurban mu), dan berilah orang-orang, dan simpanlah,
sesungguhnya pada tahun yang lalu itu orang-orang mendapat kesusahan, maka aku
ingin kamu menolong mereka”. (Muttafaq ‘Alah)
Orang
yang berkurban tidak boleh mengambil sebagian dari kurbannya untuk dijual
maupun dijadikan upah jagal atau si penyembelih. Bila si penjagal ingin ikut
menikmati daging kurban, kita dapat memberinya melalui
undangan
makan yang sajiannya daging kurban. Jika dia fakir miskin, dia berhak diberi
daging kurban agar dia dan keluarganya turut bergembira. Yang membantu
menyembelih kurban dan yang turut mengerjakannya tidak boleh diberi upah dari
kurban. Kalau mau memberi upah, hendaklah dari yang berkurban.
Seperti
diterangkan dalam hadits :
عن علي قال : أمَرَنِي رسو ل الله صلى الله عليه
وسلم أن أقُوْمَ عَلى بدْنِهِ وَأنْ َأتَصَدَّقَ بِلَحْمِهَا وَجُلُوْدِهَا وَاجِلَتِهَا
وَأنْ لَاأُعْطِي الْجَزَّارَ مِنْهَا قَال: “نَحْنُ نُعْطِيْهِ مِنْ عِنْدِنَا ”
(متفق عليه(
Artinya :
”Dari sahabat Ali RA. Berkata : Rasulullah SAW menyuruhku untuk menangani unta
kurban dan membagikan kulit dan penutup tubuhnya (kain yang dipakaikan pada
hewan kurban), serta melarangku memberikan kepada si penjagal sesuatu dari
padanya. Beliau berkata “kita memberi dia upah dari kita sendiri”. (HR. Muttafaq
’alaih)
Bila yang
mengerjakan orang miskin, maka ia diberi daging kurban, bukan karena ia
bekerja, melainkan karena kemiskinannya. Yang berkurban, selain berkurban juga
mesti memberi ongkos-ongkos yang diperlukan untuk menyelesaikannya serta
mengurusnya